Langsung ke konten utama

Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran (Resensi) - 2012


makanan ringan + bacaan berbobot

      “Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik…” Sebuah catatan pada tahun 1957 tercipta dari tangan seorang generasi Indonesia keturunan Cina. Namanya Soe Hok Gie. Seseorang yang hidup pada era orde lama yang selanjutnya menjadi salah satu tokoh penting dalam pergerakan perubahan yang terjadi di Indonesia saat itu.
     Gie yang selanjutnya menjadi pemuda yang gusar dalam perasaan dan pemikirannya yang terus bertumbuh lalu mencurahkan ide – ide, pemikirannya dalam rentetan catatan harian yang menjadi teman setianya hingga 12 tahun. Pada masa itu, terjadi pergolakan besar – besaran di negara Indonesia. Gie, selain menjadi saksi juga menjadi tokoh yang ikut memberikan andil dalam perubahan. Selain lewat catatan hariannya yang menjadi his life privation recorded, Ia juga merekam jejak pemikirannya dalam berbagai media cetak yang saat itu diharapkan mampu menyebarkan pola pikirnya yang cenderung idealis namun realis. Secara nyata, Ia juga menjadi pion utama dalam tonggak awal demonstrasi mahasiswa, pergerakan mahasiswa yang mulai menanyakan berbagai kebijakan pemerintah dengan melakukan aksi turun ke jalan.

     Lewat catatan hariannya, akan terlihat Gie yang begitu idealis, nasionalis, realis dan yang lebih penting, Ia menjadi sosok yang selalu menjunjung nilai kebenaran. “Siang tadi ketika aku momong kera, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga……  dan kuberikan Rp. 2,50 dari uangku. Uangku hanya Rp 2,50 waktu itu….. Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, “paduka” kita mungkin lagi tertawa – tawa, makan – makan dengan istri – istrinya yang cantik….. Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau…. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia…… Cuma pada kebenaran kita harapkan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu. Sebuah nilai kebenaran yang menjadi acuan kehidupan seorang Gie sehingga selanjutnya ia akan dikenal sebagai sosok yang keras namun real dalam bertindak dan mencoba mengembalikan ‘kesadaran’ masyarakat yang sudah kadung melihat pemerintah sebagai suatu area ‘tabu’ untuk disentuh. Dan Ia melakukannya.


     Soe Hok Gie. Pemuda yang kritis pada jalannya keadilan juga memiliki ‘pelarian’ selain  perjuangannya di kampus kepada pemerintah. Kekagumannya pada alam dan kegemarannya menaiki gunung menjadikan pribadinya semakin tangguh namun seketika rapuh saat menikmati keindahan alam yang ia rekam melalui tulisannya. Ini juga yang menjadi arus kegiatan bernama MAPALA yang telah Ia buat jauh waktu sebelumnya. Bersama kawan – kawannya, melalui sebuah organisasi kecil yang tercipta hanya untuk pergi ke alam dan menikmati kebesaranNya.
   
     Dalam 12 tahun catatan hariannya, ada bagian yang merefleksikan Gie sebagai seorang manusia normal yang mendamba kehidupan manusia normal lainnya. Cinta. Sebuah Tanya dan kerinduan pada bagian yang jarang Ia sentuh. Sebuah bagian yang begitu simpel namun (mungkin) terasa sulit untuk dijalani. “Mereka orang – orang ‘tikus’ ini, senang pada saya karena saya berani, jujur dan berkepribadian. But not more than that. Pada saat mereka sadar bahwa saya ingin menjadi in-group mereka, mereka menolak…… Soal ini telah lama saya sadari. Tetapi pada waktu itu datang sebagai kenyataan, rasanya pedih sekali….” Sebelumnya, Ia pun telah menyerahkan perasaannya dalam sebentuk sajak yang membuat hatinya merindukan akan harapan  dan cinta.

soe hok gie

Sebuah Tanya
Akhirnya Semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

(kabut tipis pun turun pelan – pelan di lembah kasih, lembah mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan – hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Kau dekap lebih mesra, lebih dekat

(lampu – lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)

Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta

(hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah – wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang tidak kita mengerti
Seperti kabut pagi itu)

Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan – kenangan dan harapan – harapan
Bersama hidup yang begitu biru
-Selasa, 1 April 1969

     12 tahun catatan harian nya kini dirangkum dalam sebentuk buku berjudul “Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran” terbitan LP3ES, Jakarta. Secara beruntung, aku akhirnya mendapatkan buku yang langka ini lewat kebaikan hati seorang kawan @ayucempaka yang mengirimkan buku ini dari Jogjakarta. Langka secara harfiah karena semenjak buku ini kucari empat tahun belakangan di berbagai toko buku di Bali, stoknya kosong. Tapi Tuhan memang sayang, akhirnya sekarang kumiliki buku ini secara official :)

     Sosok Gie dalam pandanganku adalah karakter yang cerdas, berani, terstruktur, idealis dan realis. Tidak segan kata – katanya tajam yang akhirnya membuka tabir kebenaran yang sengaja ditutup – tutupi oleh beberapa pihak saat itu. Sebagai ganjarannya, adanya beberapa pihak yang kontra akan apa yang dilakukan Gie.  Semua hal ini terangkum jelas dalam setiap goresan pena catatan hariannya. Tapi sayang, nama – nama beberapa tokoh sengaja diganti bahkan dihilangkan. Yang anehnya, beberapa nama justru tercetak dengan jelas seperti beberapa anggota parlemen pemerintahan yang memiliki bad responses lewat pemikiran Gie. Entah apa tujuan dari LP3ES melakukan itu. Jika memang LP3ES ingin menyebarkan pemikiran dari Soe Hok Gie, kenapa juga tidak mencantumkan beberapa artikel buatannya untuk kompas dan beberapa media cetak saat itu dalam buku ini? Sepertinya masyarakat akan lebih mudah untuk mencerna sekaligus memahami apa yang Gie ingin sampaikan.

     Secara struktur, agak susah pada awalnya untuk mengerti isi buku ini. Tentu, karena ini adalah kumpulan catatan harian yang semestinya menjadi konsumsi pribadi penulis. Tapi berkat kata pengantar yang ditulis oleh Harsja W. Bachtiar (saat menulisnya, Ia adalah Dekan Fakultas Sastra UI, tempat Gie belajar sebagai mahasiswa Sejarah) terbayanglah akan isi buku ini yang selanjutnya menemani waktu senggangku sambil nge-es krim, makan, sesudah bangun, sebelum tidur  atau membacanya memang pada waktu khusus yang  sengaja kusediakan untuk melahap isi buku ini. 

official poster film GIE
     Karakter Gie telah pun telah di audio visual-kan dengan judul yang sama. Lewat keinginan Mira Lesmana dan eksekusi dari Riri Riza, tercipta Gie yang saat itu diperankan oleh Nicholas Saputra.  Sayangnya ada perbedaan yang mencolok dari film Gie jika disandingkan dengan karakter Gie langsung lewat catatan hariannya. Gie yang ditampilkan begitu dingin dan keras. Seolah tak ada celah untuk memperlihatkan Gie yang idealis namun kadang rapuh dan hangat dalam waktu yang berbeda seperti yang tertampilkan dalam catatan hariannya. Mungkin Riri Riza memang memiliki tujuan penciptaan karakter Gie yang seperti itu. That’s all back to the director. But, overall, Film nya cukup bagus (pada saat pertama aku menontonnya, aku sama sekali kosong tentang sosok Gie tapi pada saat menonton ulang baru aku mengerti alurnya :p. Ini juga yang menjadi start awal perburuanku mencari buku ini) dan Buku ‘Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran’ sangat layak untuk dikoleksi. Sebagai satu rekaman perjalanan Indonesia yang berharga.

Judul                            : Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran (Resensi)
Jumlah halaman   : xxx + 385 halaman
Penerbit                    : LP3ES, Anggota Ikapi
Cetakan                    : Kesebelas, Oktober 2011
Harga                         : Rp. 50.000 (2011)

Komentar

Ana mengatakan…
Mau donk bukunya??
Ane cari dimana mana gak ada :(
@ana Aulia : Hai Ana. Buku Gie terakhir aku lihat ada di penjualan buku shoping di jogjakarta. Bisa dicari disana. kadang di pasar buku di Jakarta atau daerah sekitarnya. Memang untuk toko buku besar seperti Gramemia atau lainnya, agak susah menemukan buku ini. :)
Anonim mengatakan…
sekedar informasi buku ini di gramedia matraman jakarta di station biografi lantai 2, harganya 60rb
@Anonim : Wah, informasi yang sangat berharga :) terima kasih atas infonya kawan
Anonim mengatakan…
mau nyari bukunya, bisa hubungi aku di 085643413091
"Penjual Buku"
Anonim mengatakan…
@anonim : mau pesen caranya gmn?
Monica Damayanti mengatakan…
hai @anonim apakah kamu benar menjual buku soe hok gie ini?
Andreasargatya mengatakan…
Susah carinya, mas @A.A Ngr. Bgs. Kesuma Yudha jogja sebelah mana tu? Matur suwun
Unknown mengatakan…
Akuu adaa bukunyaa..
Baru kemarin belii bukunya dengan harga yg sudah melonjaaak naik.. #tepokjidat
Unknown mengatakan…
Apakah saat ini bukunya masih ada ?

Postingan populer dari blog ini

Puisi Anonymous – Sahabat

     Aku lupa kapan pernah pergi ke salah satu SD di daerah Sudirman, Denpasar. Karena harus mengurus suatu urusan yang belum terurus, jadilah waktuku harus teralokasikan sedari pagi disana. Dalam postingan kali ini, sesungguhnya dan sebenarnya, tidak bercerita tentang kegiatan yang kulakukan di SD bersangkutan. Namun lebih kepada puisi tempel dinding yang sekejap mengambil perhatianku dan mematungkan diriku dengan setiap kalimat didalamnya. Sangat polos. Sangat jujur. Sangat keren. 

Aku Suka Pantai

     Pantai selalu membuatku merasa nyaman. Seakan memiliki emosi, deburan ombak nya selalu menyahut ketika aku mencoba berbicara denganya. Oke,oke, Mungkin terdengar aneh tapi apa salahnya berbicara pada benda mati? :D