Langsung ke konten utama

Diperkosa angin di Batur yang dingin



     “Beneran nih ga apa? Serius nae yud,” suara seorang pemuda tanggung memecah suasana di balebengong sekitar kawasan pos jaga Batur. “Sante aja be, ‘mereka’ pasti datang. Tapi cuma ngeliatin aja koq,” jawabku di sebelahnya diikuti pandangan menunggu dari 1 pemudi dan 2 pemuda lainnya. “Oke, gini ceritanya, waktu itu aku dan adikku pernah ngeliat bayangan hitam gede banget waktu lewat di jalan (tiit),” pemuda yang bernama Abe itu pun memulai ceritanya. “Terus?,” tunggu pemuda lain yang bernama Kris sambil mulai memperhatikan dengan seksama si pemberi cerita. “Awalnya ku kira itu orang yang lagi diem di belakang pohon, eh, ga taunya…” mulai mencondongkan tubuhnya dan… PLAK! “Huwaaa! Apa tuuu?” baik Abe, Kris, pemudi yang bernama Novita, dan pemuda lain yang bernama Rendra lompat dari posisi mereka dan menubruk aku yang berada paling jauh dari suara berdebam tiba – tiba itu. “Tuh kan, iseng banget sih kalian cerita horor di jam 12 malam di kaki gunung Batur yang sepi ini,” suara Ws memperingatkan dari balik sleeping bag yang Ia kenakan dan memang sengaja tidak ikut gabung dalam ritual cerita seram yang kami lakukan. “Hahaha, ga pa pa koq gung. Itu cuma suara sapu yang jatuh,” jawabku tenang sambil mencoba memperlambat tensi darahku yang naik secara laknat nan drastis. Padahal tu sapu sudah kutaruh di posisi yang ga mungkin jatuh, kok bisa ambruk ya? Padahal ga ada angin. Nah lo, mahluk halus yang diceritain Abe datang nih nontonin kita, pikirku. Glek.


…….
     28 Desember 2011. Pukul 00.10 wita. Serombongan remaja berangsur dewasa kurang kerjaan sedang beristirahat di areal balebengong dekat pos jaga di kaki gunung Batur. Setelah sebelumnya menembus perjalanan 3 jam dari base camp Ws, mengisi perut di warung lalapan yang terlintas dan melarikan diri dari areal pura yang (kebetulan) sedang melakukan pentas calonarang. Kenapa melarikan diri? Siapa yang berani melakukan perjalanan jauh dan pendakian gunung sekaligus pada malam kajeng kliwon? Kamilah orangnya. Bukan sombong, tapi kami memang tidak tahu akan hari keramat tersebut dan langsung main tancap ke Bangli, kabupaten tempat gunung Batur berada. Pardon me God T,T

     Agar perjalanan lancar, sebelum turun di daerah Penelokan - lokasi persisnya kami akan melakukan pendakian – kami sengaja menyinggahi Pura Batur. Meminta ijin dan berdoa agar semua selamat di perjalanan hingga pulang nanti. “Brrrr,” suara Ws menyapa dan disusul “brrr” – “brrr” yang lain. Baik aku, Ws, Novita, Kris, Rendra maupun Abe sedang mengalami sensasi yang sama. Kedinginan. Menggigil saudara-saudara! Setelah selesai bersembahyang dan berdoa memohon keselamatan, kini waktunya untuk photo session. *lo?

Persinggahan pertama. Pura Batur.
     
     Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai di areal pos jaga Batur dan menyiapkan tetek bengek peristirahatan darurat ala kami – under balebengong – dan bercerita bersama sambil menunggu kantuk datang. Bukannya tambah lelap, justru kami ber 5 – kecuali Ws – semakin melek karena grafik cerita yang diberikan semakin meningkat dan menarik. Berawal dari betapa antusiasnya kami menuju pendakian kali ini. Mengagumi keindahan alam Batur yang akan kami tempuh sebentar lagi. Kenapa kami bisa – bisanya mempunyai rencana mendaki Batur di tengah subuh dalam suasana rahinan yang pekat. Serta bumbu cerita paling asyik ketika berkumpul bersama teman dalam suasana malam hari, horor!

     PLAK! “Huwaaa!” Rendra, Kris, Novita dan Abe langsung menyergapku ketika Abe tengah menyelesaikan ceritanya yang berhubungan dengan mahluk astral. Suasana malam yang awalnya dingin berangsur sejuk seiring ritual cerita seram kita sudahi. Malam itu juga terkesan ramai. Bukan hanya kami saja yang iseng akan menyelesaikan agenda akhir tahun dengan mendaki. Ada rekan – rekan dari ibukota yang terlihat antusias akan mendaki gunung bersama kami. Wah, orang Jakarta. Apa mereka kuat ya kalau mendaki di cuaca seperti ini? Pikirku menyelidik.

“Mas, dari mana mas?” Tanya Kris kepada mereka yang sedang asyik menyeduh mie instan di samping balebengong.

“Kami dari Jakarta mas, hehehe” respon seorang pemuda dalam rombongan ibukota itu.

“Sudah sering mendaki disini mas?” Selidik Abe sambil tidak melepaskan pandangannya pada mie instan yang mereka siapkan.

“Jarang mas, ini yang pertama kali” fufufu, baru pertama kali yah? “Kita mau coba mendaki disini. Baru aja kita kemarin mendaki Gunung Agung”

Eh? “Eh, kemarin?” sahutku agak kaget. “Iya, kemarin yang naik Gunung Agung sekitaran 30 orang, kita bersegini ini langsung tancap ke Batur setelah selesai dari Gunung Agung. Temen yang lain lebih milih Istirahat mas, hehehe” Ujar sang pemuda ibukota dengan santun sambil menyeruput mienya. Sruput! Srooot! Srooot!

“OOOooo, gitu,” ucapku dengan nada “OOOooo” serupa ketika melakukan percakapan seperti ini.

“Sayang, pergi ke restoran La Mondar Mandir yuk?” Ungkap seorang kisanak yang tampan kepada kekasihnya.

“La Mondar Mandir yang di jalan Gajah Ngepot itu?” jawab sang gadis kepada kisanaknya.

“Iya, disana makanannya enak. Ada Leu Dasfinganor. Mor jeucarwash. Zise Langfaourmyelin,” Jawab kisanak meyakinkan dengan tumpahan saliva yang membabi buta.

“Engga ah yank,” respon sang kekasih mengagetkan.

“Loh, kenapa sayang? Aku yang traktir,“ Kisanak menganjurkan dan merasa sangat gentleman hari itu. I am the Man! Hahahahaha!

“Bukan itu yank, bosen makan disana. Itu kan restoran punya papa aku” dan seketika raib entah kemanakah perasaan gentleman yang dimiliki kisanak itu sembari berujar “OOOooo, gitu”. Prak!

…….

     28 Desember 2011. Pukul 02.45 wita. Kami bergegas membereskan peraduan dan menyiapkan peralatan yang akan dibawa serta ke puncak. Sambil menungu teman – teman yang lain, aku mulai melakukan check list terhadap bawaan pribadiku. “Topi? Cek! Syal? Cek! Hape? Cek! Tipat dan makanan lain? Cek! Kartu tarot? Um, ga perlu. Canang? Cek! Dupa? Habis! Buku komik? Abaikan! Pulpen dan kertas? Um, bolehlah. Air minum? Cek!” Yap, semua sudah siap didalam tas. Setelah itu, Aku, Ws, Novita, Rendra, Abe dan Kris mulai melakukan pendakian awal. Diikuti rasa senang dan mendebarkan. Aku merasa sangat terpacu melakukan pendakian ini. Sambil mulai bersenandung, mulai kulangkahkan kakiku. Baru beberapa senti melangkah, aku kembali dan berniat meminjam kunci mobil kepada Kris. “Kris, mau ambil tasku yang ketinggalan”.

     Banyak lika – liku yang membuat kami harus ekstra hati – hati dalam melakukan pendakian ini. Kalau diutarakan, wuah, sangat menegangkan dan tidak terduga. Yang ingin melihat secara detil perjalanan kami, bisa dilihat di buah cerita disini (Mr. A) dan disini (Mr. W). Suasana yang gelap ditambah kabut yang menyergap menjadikan perjalanan ini seperti dipandu mata batin. Mau tahu seberapa jarak pandang kami? Pendek banget! Alhasil kalo kaki ga kepentok batu, tungkai kaki yang otomatis loyo saat melawan medan yang mulai terjal. Agar tidak mengambil resiko, kami pun mulai beristirahat –yang dengan intensitas sering dengan durasi agak panjang – supaya kembali prima. Walaupun halangan menghadang, tidak ada alasan bagi kami untuk mundur sekarang. Kamilah anak muda yang akan membuktikan bahwa walaupun umur sudah kepala dua, semangat kami masih tujuh belasan. Kami masih kuat. Dan akan tetap semangat sampai nanti. Yeah!

“Yuk, mulai jalan lagi,” ajak Ws.

“Sabar dlu ndro, kan masih ngopi,” saranku.
…….

     28 Desember 2011. Pukul 06.15 wita. Dengan modal dengkul – ya, tentu saja, kalo ga pake dengkul gimana bisa naik? – dan tekad yang kuat namun lemah dieksekusi, kami pun menggapai puncak satu dari gunung Batur . Mencoba bersembunyi dari derasnya rayuan angin yang – walaupun pelan- sebelas dua belas sama dingin dengan kulkas dua pintu kalau dibuka total selama dua hari dua malam. Setelah kucek  - kucek mata, perjalanan menuju puncak dua akhirnya dimulai. For Your Info, jika pada pendakian Batur sebelumnya aku selalu melihat medan yang kering dan berpasir, sepertinya penilaianku harus terbantahkan dengan kejam saat itu. Mulai beranjak dari pos puncak 1 ke arah puncak 2, angin dingin manabrak setiap lekuk tubuh dan langsung menumbuhkan bulu roma yang awalnya masih mendekam dalam bentuk bibit. Kontan saja mulut ini berteriak, “Wahiii, huakihihihi, Brrr, Ampun Gusti!” dan memutuskan untuk stop sebentar dan mengambil jaket dua lapis dan seuntai selendang sebagai penutup leher. This is my first time mendaki Batur dengan suhu bukan kompor dan sensasi yang, aduhaiiii.

     Tidak hanya itu, serbuan titik air yang ganas juga melumpuhkan niat para pendaki dengan bakat mata minus untuk segera menyingkirkan kacamatanya. Diantara kami ber 6, hanya aku dan Ws yang berkacamata. Dan diantara kami berdua, mulailah belajar melihat dengan porsi sipit menyipit seperti kelingking kaki yang kejepit. Sangat berbahaya kalau naik dengan kondisi kacamata yang basah seperti diterpa hujan dan cuaca dingin serta posisi tanah yang terjal. Naik gunung tanpa memakai kacamata seperti diajak melihat pemandangan dari atas kastil inggris dengan hamparan hijau beserta bunga – bunganya yang merekah dengan mata tertutup. Kabur asli men! Dan karena insiden kacamata ini juga aku memilih jalan yang akhirnya kuketahui adalah jalan terjal terpisah beberapa meter dengan rombonganku. “Kak, de ngendah –ngendah (jangan main – main),”ucap Novita melihatku yang menaiki gunung tepat di sampingnya dengan medan yang lebih curam. “Eh, kok? Wah, aduh, mmm.….. tolong dong”.

…….

     28 Desember 2011. Sekitar pukul 7 pagi. Langit berlukis warna biru pertanda matahari sudah muncul. Argh, ga bisa liat sunrise gara – gara ketutup awan T,T tapi sudahlah, nasip namanya. Pendakian Batur kali ini berbeda. Dulu kalau mau mendaki gunung Batur pasti teringat kondisi yang terjal serta cuaca yang panas. Pernah nginep dipuncaknya dan mendapat suguhan matahari yang menyempil malu – malu setara pandangan mata saat pagi menjelang. Sungguh indah dan susah dilupakan. Nah, bagaimana dengan kondisi gunung Batur yang kami daki sekarang? Kondisi yang (tetap terjal) disertai dingin yang mengigit. Sengaja datang subuh dan naik menjelang pagi agar disapa sunrise ternyata disambut kabut tebal dengan pandangan mata yang terbatas. Sungguh sulit untuk dilupakan. Ah, sudahlah. Lebih baik sekarang mulai memanjakan diri dengan kondisi 1080 m dpl yang jarang orang lain bisa dapatkan. Menghirup udara yang (pastinya) dingin. Merentangkan tangan dan mulai berteriak rusuh kearah bukit dibawahku . “Uyeeeeaah! Asiiiik!! Wahuuu!!! AAAAAHHH!!! kakikuuu!” sesalku sesaat menendang batu paten yang kukira kerikil biasa.


     Setiap pendakian Batur yang kulewati selalu mempunyai ceritanya sendiri. Kali ini pun cerita itu berbeda dan tetap asyik. Dimulai dengan komposisi 6 orang dengan 5 pemuda dan 1 pemudi. Mengingatkanku pada cerita pandawa lima serta Drupadi, yang melakukan perjalanan ke gunung Himalaya. Bedanya waktu kami melakukan pendakian, tidak ada anjing yang menemani dan kami ber 6 sampai di puncak dengan selamat. Tapi kalau tetap memaksa, yah, bolehlah aku mengambil rupa sebagai Arjuna dengan sifat Yudistira. Hmm, cocok kok.

…….

          Setelah mengisi perut dengan ransum yang terdiri dari tipat, abon, tempe manis, sambal dan mie instan yang telah diseduh, energi kami akhirnya terkumpul kembali. Hakikatnya seperti Songoku yang diberi kacang dewa oleh Mr. Popo di kartun Dragon Ball. Tapi bedanya, setelah songoku makan kacang dewa, dia melayang langsung terbang menuju tempat yang dituju. Kami? Ya, harus berjalan turun dong! Gimana bisa terbang? Kamehameha saja tiada mampu. 

terkena efek hypothermia

Di puncak itu. Pertarungan itupun tidak bisa dihindari lagi.
     
     Sebelum turun, iseng aku menghidupkan program endomondo di hp. Sebenarnya ini lebih kepada ingin tahu seberapa lama kami membutuhkan waktu untuk perjalanan dan berapa jarak pendakian dari puncak Batur menuju kebawah. Yah, kalau tegak lurus sih hitungannya mencapai 1080 meter. Tapi sewaktu mendaki ini kan berkelok – kelok? Nah, ini yang ingin kucari. Masukkan hape ke dalam tas dan mari cus! Ingin tahu sensasi serta kondisi kami melakukan perjalanan sampai kembali turun? Silahkan diintip videonya disini.


Pencitraan endomondo di areal gunung Batur

jarak tempuh (sebenarnya) 3.67 km? wauw, lumayan ya?
…….

     Ketika turun, banyak hal yang ter lihat. Salah satunya adalah jalur yang kami lalui ternyata berbeda dari jalur biasa. Sedikit lebih curam tapi untungnya masih bisa diantisipasi dengan otot kawat kami yang berangsur mengkarat. Perjalanan turun kami dihiasi fenomena kain kasa yang melintang membungkus gunung Batur. Salah satu kaul (janji) dari Raja Panji Sakti sejak beratus tahun yang lalu namun baru dapat dilaksanankan sekarang. Untuk info lengkapnya, cek disini. 

Jalur kain kasa yang membentang, mengaput areal gunung Batur.
     Selain itu budaya masyarakat yang ternyata gemar membuang sampah di alam masih menyertai perjalanan ini. Entah siapa yang membuangnya. Mungkin guide atau bisa saja pelancong yang mendaki gunung Batur ini. Hm, bagi yang membuang sampah di areal Batur atau dimanapun di alam liar nan luas ini, Hey Dude! Anda sangat KAMPUNGAN sekali. Pasti anda ciri – ciri orang yang bolos terus sewaktu kerja bakti sekolah ya? Sekalian saja tong sampah dirumah dikasi bunga – bunga dan dijadikan hiasan rumah. Lalu sampah non-recycle itu pun meluncur ke dalam tas.

Errr, jaman modern masih aja ada orang purba yang suka buang sampah sembarangan. >:(
     Panorama alam Batur mulai memanjakan mata lebih intim. Sambil sesekali –ga sekali sih, berkali – kali malah- beristirahat, kami melempar pandangan kearah alam Batur yang mulai terlihat karena adanya bantuan matahari yang bersinar dengan hangatnya. 

Inilah cara kami beristirahat
     
     28 Desember 2011. Sekitar pukul 10 pagi. Kami pun akhirnya mencapai balebengong dekat pos jaga dengan selamat. Eum, kami itu aku dan Rendra yang pertamanya sampai setelah berlarian dengan semangat. Dilanjutkan 30 menit setelahnya oleh Novita yang tersesat beberapa kilometer namun mampu menggapai balebengong dengan sukses. Diikuti penyampaian  gemilang lainnya oleh Abe, Ws dan Kris. Setelah semua berkumpul, baru timbul niat untuk melakukan ritual “serangan fajar”. Belum kaki melangkah menuju toilet terdekat, seorang bapak – bapak mendekatiku seraya berkata. “Wah, gus, mobil saya ga bisa hidup loh karena akinya hidup terus dari tadi.”

“Eum, iya, terus kenapa pak?” tanyaku mulai tak sabar sambil tangan menenangkan perut yang melolong setara manusia serigala berevolusi di bawah bulan purnama.

“Minta tolong dorongin, hehehe, tolong ya gus,” jawab si bapak bagai ngelempar gardu PLN ke jidatku di siang bolong.

Aduuuh, ni bapak ga bisa liat situasi ya? Waktu genting seperti ini masa disuruh dorong mobil? Bisa brojol di tempat nih. Toilet? Dorong mobil? Toilet? Dorong mobil? Toilet? Woee, jangan kelamaan mikir! Beneran catastrophe nih ntar! Argh! Dan akupun mendorong mobil tersebut bersama Kris dan beberapa warga yang melintas. Terberkatilah kalian oleh penguasa toilet wahai warga yang baik! “Brut!”


…….
     It’s kuliner time! Tidak terlalu spesial juga. Hanya nongkrong di warung nasi terdekat dan menghabiskan jatah makanan dengan kecepatan mengunyah layaknya tentara perang yang dideportasi ke gurun pasir selama satu minggu. Perut kenyang hari terasa terang. Lanjut dengan mandi –rendeman- air panas –masih- di areal terdekat. “Kecipak - kecipuk, kya! Kya! Kya!!!” bergaya agak najis dengan areal air kolam yang mulai berubah, bereaksi dengan bau badan yang amis, semoga pemandian air panas ini tidak berakhir dengan si empunya tempat yang menangis :P


     Hanya sekitar 30 menit, aku , Abe dan Kris menyelesaikan proses pencucian otak via berendam di pemandian air panas itu. Ditunggu oleh Ws, Rendra dan Novita di balai santai dekat pemandian.  Baju telah terganti. Rambut tersisir rapi. Cerminan dan wajah tetap statis. Tidak jelek, ganteng juga tidak seberapa. Kamipun berangsur memasuki mobil untuk segera kembali ke rumah tercinta. Mesin mobil dihidupkan. Getaran dari mobil yang melaju ternyata cukup membuat rileks badan –seperti alat pijat- setelah melakukan pendakian ke gunung Batur. Hm, benar – benar kegiatan akhir tahun yang sangat iseng.

…….

     Dear Batur. Ketika dulu kau menghujaniku dengan panas dan debu konstan, baru saja kau memperkosaku dengan dingin dan kelembapan yang akut. Tapi tidak mengapa. Itu semakin mengingatkanku bahwa saat mendakimu, aku menyadari bahwa begitu kecil diriku. Aku yang begitu mini ini terkadang begitu angkuh untuk sekedar membuktikan bahwa aku bisa menaklukanmu. Namun lagi -lagi kau mengingatkanku bahwa aku hanyalah manusia yang tidak seberapa ketika aku akhinya berhasil menggapai puncakmu. Terima kasih telah menjadi guruku selama 12 jam perjalanan ini. Sepertinya lain kali akan ada pendakian tidak terduga dalam menggapai puncakmu yang perkasa. Ah, mungkin itu harapan? Siapa yang tahu? :)


Foto : @abewardana dan koleksi pribadi @bgskesumayudha 

Komentar

deva pradnyana mengatakan…
Mnarik critanya...yakin bru prtama kali yud??
Kyknya dah bbrapa kli hehe...
Prasaan naik battur cuma5 jam mndaki kok bisa 12 jam(malu brtanya sesat djlan)? Ada apa gerangan hehe...
.gungws mengatakan…
klee..,mentang2 udah tua, judulmu nok...
@deva : pertama kali naik dgn kondisi cuaca hujan dingin serba basah. Wakh! Bukan! Naiknya 3 jam. 12 jam itu dr baru sampe d kaki gunung utk mrndaki sampai selesai mandi dan baru brgkat plg k dps besoknya :D
@ ws : Klee, jangan nae bawa2 umur disini bape ws :))
deva pradnyana mengatakan…
ok...
good journey...
Tara Anggita mengatakan…
udah hamil kak?
kan diperkosa..
@deva : thx brow :D
@tara : HUS! Ngawur :P *elus2 perut dian sastro

Postingan populer dari blog ini

Puisi Anonymous – Sahabat

     Aku lupa kapan pernah pergi ke salah satu SD di daerah Sudirman, Denpasar. Karena harus mengurus suatu urusan yang belum terurus, jadilah waktuku harus teralokasikan sedari pagi disana. Dalam postingan kali ini, sesungguhnya dan sebenarnya, tidak bercerita tentang kegiatan yang kulakukan di SD bersangkutan. Namun lebih kepada puisi tempel dinding yang sekejap mengambil perhatianku dan mematungkan diriku dengan setiap kalimat didalamnya. Sangat polos. Sangat jujur. Sangat keren. 

Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran (Resensi) - 2012

makanan ringan + bacaan berbobot       “ Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik…” Sebuah catatan pada tahun 1957 tercipta dari tangan seorang generasi Indonesia keturunan Cina. Namanya Soe Hok Gie. Seseorang yang hidup pada era orde lama yang selanjutnya menjadi salah satu tokoh penting dalam pergerakan perubahan yang terjadi di Indonesia saat itu.

Aku Suka Pantai

     Pantai selalu membuatku merasa nyaman. Seakan memiliki emosi, deburan ombak nya selalu menyahut ketika aku mencoba berbicara denganya. Oke,oke, Mungkin terdengar aneh tapi apa salahnya berbicara pada benda mati? :D