Langsung ke konten utama

Undian Mimpi




Di sebuah rumah / malam hari (16 -12 -2010)
Matanya tajam. Hanya terfokus pada kertas di hadapannya. Sesaat kemudian sebatang pulpen terlihat menari diatasnya. Dengan lincah, tangannya mengisyaratkan untuk membuat beberapa tulisan. Sesekali untaian senyum tersungging dari bibir kecilnya. Dengan berkonsentrasi dia membuat NAMA, ALAMAT, NO TELEPON, dan lainnya di atas kertas itu. 



Di sebuah warung kecil / pagi hari (16 – 12 – 2010)
Sebuah sayembara menarik perhatiannya ketika dia membeli sebatang coklat di warung dekat rumahnya. Sayembara dari coklat yang ia beli dengan hadiah pergi ke luar negeri jika terpilih. Matanya berbinar. Langsung ia membeli 3 batang coklat serupa dengan sebuah amplop dan tidak lupa sebuah perangko. Remaja tanggung itupun langsung berjalan riang menuju rumahnya.  Kadang senandung kecil mengiringi harapannya jika ia yang memenangi undian itu.

Di rumah dan jalan raya Renon / siang hari (17 – 12 -2010)
Bersyaratkan 3 bungkus coklat sebagai keharusan mengikuti undian dan serta identitas diri jika berhasil menjadi pemenang. Remaja laki – laki itu terlihat sangat senang ketika memasukkan ‘paket’ itu ke dalam amplop.
“Sekarang hanya tinggal ke kantor pos!”, gumamnya. Setelah menghabiskan ketela goreng yang dibeli tadi pagi, ia pun beranjak mandi. Tepat ketika jam menunjukkan pukul 12.30 wita,  ia pun berangkat ke kantor pos dengan sepeda motor bututnya. Dalam perjalanan ia terus berangan – angan seandainya ia berhasil pergi ke luar negeri dengan memenangi undian itu. Paket perjalanan itu adalah untuk pergi berpasangan. Ia maupun pacarnya dapat dengan leluasa menyusuri sudut kota Italia sebagai destinasi dari sponsor coklat tersebut.
Ah, tidak. Aku ingin mengajak ibuku kalau menang” pikirnya. “Ibuku pasti senang, seumur – umur kan ibu belum pernah pergi keluar negeri. Hahahahaha”, Derai tawanya semakin mengembangkan niatnya untuk terus berharap agar ia memenangi undian itu.

Di Kantor Pos Renon / siang hari (17 – 12 – 2010)
Roda hitam berdecit pelan. Setelah meraung selama 15 menit, mesin motor itu pun terbatuk saat dimatikan. Helm yang tadinya melindungi rambut acak sang remaja tanggung kini beralih fungsi sebagai penghias spion. Kakinya berayun santai. Tangan kanannya memutar mutar kunci motor. Tangan kirinya dengan sigap menggenggam sebuah amplop yang berisi harapannya untuk dikirimkan. Senyumnya semakin sumringah ketika mendekati pintu masuk kantor pos. Sang satpam berdiri, menyapa sang remaja tanggung.
“Sudah tutup, Gus!”,ungkap galak dari satpam penjaga pintu. Kaget karena di’dor’ secara tiba – tiba, remaja itupun terdiam sebentar untuk menyadari apa yang sedang terjadi.
“Loh pak? Kan belum jam satu?”, protesnya secara perlahan. Sang satpam yang tadinya merasa malas kemudian berbicara sambil agak mendelik, “Sudah tutup! Rame di dalam! Besok aja datang!” tegasnya dengan volume suara yang meningkat di balik kumisnya yang tumbuh liar.
Sang remaja tanggung mematung karena tak bisa mendeskripsikan perasaannya. Perasaan kecewa karena harapan menggebunya tertunda sehari, ataukah perasaan marah ingin mencabik muka satpam yang berdiri angkuh didepannya. Namun demi keamanan, dia mengganggap sedang mengalami fase perasaan pertama. Yaitu “Sedang disiapkan hari yang lebih pas oleh Tuhan untuk mengirim surat tersebut”. Sambil mencoba tersenyum – walaupun pahit – dia berjalan kembali ke arah motor butut hitamnya. Dengan agak lunglai, kakinya men-starter pedal dan putaran roda berukuran 15’ itu kembali memasuki jalan raya Renon yang agak lengang. Wajahnya tidak seganteng awalnya. Karena kini ekspresi mukanya lebih mirip keset WELCOME yang sedang diinjak oleh satpam yang sibuk menghadang customer lain memasuki kantor pos. “Sudah tutup pak! Tutup bu! Maaf ‘mba, udah tutup. Oh ya, bole minta no teleponnya gamba?” 

Di sebuah rumah / malam hari (17 -12 -2010)
Keringatnya bercucuran. Setelah membantu Aji dan Ibu nya menyiapkan alat – alat upacara Kuningan besok, ia terduduk sambil menenggak segelas air. Sesaat matanya tertuju pada kilat yang bergelora dengan meriah di langit. Pelan namun pasti, tetesan air mulai jatuh dari langit. Suara hujan beradu dengan genteng, tanah atapun dedaunan menumbulkan ritmik menarik di telinganya. Remaja tanggung itupun lama kelamaan mulai menikmati suasana malam.
Derap langkah kakinya tak terdengar ketika memasuki kamarnya yang sempit. Suara hujan di luar semakin ganas. Sembari diiringi suara petir yang datang tiba – tiba, sang remaja tanggung membersihkan tubuhnya dengan handuk hijau setelah ia melakukan tapa –semedi di kamar mandi hampir setengah jam lamanya. Sembari berdendang dengan nada yang keluar dari jalur, matanya tertumbuk kembali pada amplop yang gagal dikirimkannya tadi. Kakinya menyenggol kasur dan ia pun terjatuh dengan pasrah ke atas tempat tidur.
Mukanya meringis karena terdapat sebatang pulpen yang ujungnya menyenggol kulit punggungnya. Tak acuh dengan si pulpen yang memang sembarangan ia taruh – kadang dilemparkan – yang jika sudah selesai digunakan sampai menyasar kasurnya, Ia pun kembali memandangi amplop itu. Sesaat harapannya kembali tumbuh. Berjalan jalan ke Italia sebagai hadiah untuk ibunya. Pasti sangat menyenangkan. Tanpa sadar harapan dan mimpinya kembali membumbung tinggi. Manghilangkan segala pengalaman buruk yang ditemuinya tadi. Entah dengan satpam atau dengan hal lainnya. Ia terus berharap untuk menang. Tapi ia pun pasrah karena ia tahu ini adalah kesempatan 1 : 200 juta penduduk Indonesia.
Malam ini ia terlelap dengan senyum merekah dan mimpi pergi ke Italia. Kini harapan remaja tanggung itu seakan menjadi pistol. Mimpinya berubah menjadi amunisi yang terus bertambah. Di mimpinya, di Italia, dia menembak mafia Italia yang menghalangi jalannya. Dan akhirnya berhadapan dengan bos mafia yang sangat ia kenal. Dengan seragam coklat, kumis ganas dan keset WELCOME yang diinjaknya. “Glek!”

Di sebuah rumah / pagi hari (17 -12 -2010)
Pukul 8 pagi waktu setempat. Setelah memakai Kamen dan kaos putih, remaja tanggung itu pun membantu kedua orangtuanya – Aji dan Ibu – menyiapkan upacara Kuningan di rumahnya. Hanya butuh waktu dua jam hingga semua prosesi itu selesai. Kini setelah berganti pakaian ia bertekad pergi ke kantor pos lalu berjanji kembali sebelum dia dan orang tuanya pergi ke Pura.
Saat memanaskan motornya di garasi, sekali lagi dia mengecek kelengkapan amplop yang akan dikirimkan ke kantor pos. Senyumnya kembali mengembang. Membayangkan trip ke Italia. Senyum ibunya yang gembira pergi ke luar negeri. Senyum keluarganya  yang menyambutnya di airport Ngurah Rai  saat ia kembali. Senyum teman – temannya yang mendengarkan ceritanya dengan antusias tentang Italia. Sampai saat sekolahnya selesai dan dikejutkan oleh suara, “TUTUP GUS! PULANG!”. Mukanya kembali mengerut. Ketika remaja tanggung itu mengingat aksen khas menyebalkan yang diingatnya. Dari seorang satpam yang menghadangnya di kantor pos kemarin ataupun sebagai bos mafia, menantangnya di mimpinya sendiri.

Di Jalan By Pass / siang hari (17 -12 -2010)
Tepat pukul 11.30 wita mereka bertiga berangkat ke pura untuk melakukan persembahyangan dalam rangka Hari raya Kuningan yang jatuh hari ini. Sambil terkantuk, remaja tanggung itupun menikmati perjalanan dengan kedua orang tuanya duduk di jok depan mobil. Harapannya tengah menuju mimpi yang siap dipetik jika menjadi kenyataan. Sesaat ia tersenyum. Kembali ia merenung.
Apakah yang kukejar selama dua hari ini?” , Pikirnya
Kenapa aku sangat optimis bahwa aku akan dapat undian itu?, padahal pesaingnya kan ada banyak?”, cecar pikirannya secara membabi buta
Ia pikir ini adalah hal yang mungkin sia – sia, tapi ia merasa perlu untuk melakukannya. Setidaknya secara total. Saat ia pertama melihat kesempatan itu di sebuah warung, menulis, mengirimkannya ke kantor pos, ditolak, kembali lagi ke kantor pos, terkirim. Kini Ia seperti pasrah, bukan, hal yang lebih dalam dari itu. Ketika ia mulai asyik dengan pikirannya sendiri, mobilnya mengerem dan menandakan bahwa ia sudah sampai di Pura tujuan.

Malam itu…..
Seharian ini ia kembali memikirkan perjuangan 2 harinya. Saat dimana dia pergi ke kantor pos dengan harapan yang melebihi hari kemarinnya ia pergi ke sana. Di sana ia tak bertemu dengan satpam yang menyebalkan dengan kumisnya yang ingin dijambak. Malahan ia disapa dan diberi bantuan oleh satpam muda yang terlihat bersemangat. Oleh karyawatinya, Ia diberi kemudahan pangiriman dengan diiringi senyum manis yang pernah ia lihat. Keluar dari kantor pos, tak lupa ia membersihkan sepatunya di keset WELCOME yang tetap segitu-segitu saja. Kembali ia bersenandung dan mengawali harinya di pagi itu dengan ceria.
Remaja tanggung itu pun membuat kesimpulan. Bukan undian yang menjadi tujuannya. Sebuah harapan dan mimpi yang ia dapatkan selama dua hari itu. Sebuah masa yang jarang akan orang temui setelah melewati fase remaja dalam hidupnya. Apakah harapanmu kini? Atau, apakah kamu memiliki mimpi – mimpi yang pernah kamu inginkan? Remaja tanggung itu mungkin tidak mengetahui, ketika umurnya beranjak dewasa, kemampuannya untuk berharap dan bermimpi mungkin akan tergeser. Tergerus rutinitas dan aturan kaku dalam kehidupan ini. Tapi yang membuat lega, rupanya remaja tanggung itu akan terus berusaha bermimpi dan mempunyai harapan yang tinggi. Ia setidaknya menyadari lebih awal bahwa harapan dan mimpi adalah resep dasar dalam kehidupan. Apakah kau akan mengikuti mimpi dan harapanmu sendiri atau mengikuti mimpi dan menjalankan harapan orang lain? Memang terdengar tidak mudah. Lebih baik mengikuti sesuatu yang bersifat pasti dari pada melirik mimpi yang masih berupa angan – angan.
“Buat apa berangan angan muluk?, aku sudah puas dengan seperti ini”, ungkap Mr. X dalam pemikiran kita.
“Tapi apakah ini yang kau ingin dapatkan? Sebuah hal yang bahkan tidak dapat membuatmu bahagia seumur hidup?”, tegas Mr. non-X dalam benak kita.
Namun seperti yang remaja tanggung itu formulasikan di balik rambut acaknya, “Mimpi dan harapan membuatku kuat. dan tanpa kusadari itu membuatku fokus akan hal yang ingin kudapatkan.”, serunya bersemangat
Kalaupun berhasil, itu adalah bonus dari perjuangan yang ku lakukan. Baiklah, mulai sekarang aku akan merangkai mimpi dan harapanku. Semoga dengan perjuanganku, semua ini menjadi lebih baik dan bisa seperti yang kuinginkan”, lanjutnya dalam pemikirannya  setelah ia dimarahi oleh ibunya karena berteriak – teriak di malam hari seperti orang berpidato, 
Apakah kamu juga akan merangkai mimpi dan harapanmu dan memperjuangkannya agar mendapatkan hal yang benar – banar kamu inginkan di masa depan? Semua orang tentu memiliki keputusannya masing – masing. (yo)

Komentar

'dya_ndudh mengatakan…
optimis kuncinya.. :)
moga ajus ama ibu bisa berangkat ke itali.. wid doain yg terbaik untuk perjuangannya ajus.. semangat !! :D
*btw, ajus lbi cocok cerita dg model humor.. :)
Ngok! hahaha, kan cuma khayalan aja wid :D wkwkwk
'dya_ndudh mengatakan…
emang salah kalo berharap :)
gag kan ? seperti harapanku padamu yang tidak pernah padam hingga saat ini.. :*
Ahahaha.. iya yank...
mari pupuk harapan dan mimpi agar semua jadi lebih baik :D
Anonim mengatakan…
hahaha.. kasian dimaraen satpam.. ayo ke Italy :D
'dya_ndudh mengatakan…
iya yank, semangat !! :)
@gdwgdw : ahaha,,, takut deh ma satpam kemarin T,T
@wdy : semangat!!! :D

Postingan populer dari blog ini

Puisi Anonymous – Sahabat

     Aku lupa kapan pernah pergi ke salah satu SD di daerah Sudirman, Denpasar. Karena harus mengurus suatu urusan yang belum terurus, jadilah waktuku harus teralokasikan sedari pagi disana. Dalam postingan kali ini, sesungguhnya dan sebenarnya, tidak bercerita tentang kegiatan yang kulakukan di SD bersangkutan. Namun lebih kepada puisi tempel dinding yang sekejap mengambil perhatianku dan mematungkan diriku dengan setiap kalimat didalamnya. Sangat polos. Sangat jujur. Sangat keren. 

Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran (Resensi) - 2012

makanan ringan + bacaan berbobot       “ Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik…” Sebuah catatan pada tahun 1957 tercipta dari tangan seorang generasi Indonesia keturunan Cina. Namanya Soe Hok Gie. Seseorang yang hidup pada era orde lama yang selanjutnya menjadi salah satu tokoh penting dalam pergerakan perubahan yang terjadi di Indonesia saat itu.

Aku Suka Pantai

     Pantai selalu membuatku merasa nyaman. Seakan memiliki emosi, deburan ombak nya selalu menyahut ketika aku mencoba berbicara denganya. Oke,oke, Mungkin terdengar aneh tapi apa salahnya berbicara pada benda mati? :D