Langsung ke konten utama

Resensi - Kau Memanggilku Malaikat (Novel)



Malaikat itu selalu datang pada saat ajal mendekat. Apakah persepsimu tentang malaikat? Bersayap? Berwarna putih? Ataukah seram? Membawa sabit besar dan berwajah tengkorak? Bagaimanapun deskripsi tentang malaikat, itu cukup berbeda dengan buku yang akan diulas sekarang.



Sosok malaikat yang ditampilkan dalam buku karya Arswendo Atmowiloto ini terbilang unik. Jika dalam cerita fiksi kita disuguhi bentuk ‘jadi’ sebagai perwujudan malaikat bersangkutan, tapi disini malaikat itu diceritakan benar – benar biasa. Yah, kalo dibayangkan, Ingatlah peran God (Tuhan) dalam film berjudul ‘Bruce Almighty’. Disana sang God (Tuhan) berwujud pria kulit hitam dengan setelan berwarna putih bersih. Persis seperti manusia. Nah, mungkin itulah persamaan sosok malaikat dalam cerita di novel “Kau memanggilku Malaikat” ini.
Yang menarik di buku ini selain malaikat yang menjadi central point cerita, adalah habit sang malaikat yang bisa membantu menceritakan kisahnya pada waktu bersamaan di tempat yang berbeda. Karena tentu saja dia malaikat, jadinya, dia dapat berhubungan dengan dirinya yang lain dan mengetahui apa yang terjadi di tempat yang lain dengan semacam telepati. Lewat kebiasaannya itulah, peran pendukung dalam buku ini terbangun dan dapat diceritakan secara bersamaan. Tanpa menurunkan intensitas kualitas antara satu peran terhadap peran pendukung lain.
Hal menarik lainnya adalah pesan. Pesan yang terkandung dalam setiap pengalaman orang yang ditemui oleh malaikat itu dijelaskan secara logika. Pernah mendengar istilah “Merasakan tanpa harus dipikirkan?”, di sini perasaan macam apapun itu diutarakan secara logical dan membuat kita berpikir lebih mendalam akan makna dari setiap perasaan orang yang sudah meninggal.  Penyebabnya adalah peran malaikat itu sendiri hanya terbatas pada “dimengerti tanpa dapat dirasakan”. Tapi dengan kekurangannya itu dan dibantu pola penceritaan orang pertama, makna tersingkap dalam buku ini akan dijabar perlahan pada setiap halaman dan itu mempermudahkan pembaca untuk tetap mengikutinya dengan cerita yang tidak terduga.
Kelebihan Arswendo adalah menggunakan konsep penulisan yang ‘vulgar’, dalam artian kejadian apapun yang terdapat dalam novel diceritakan secara rinci. Baik kejadian buruk atau baik. Kadang ini yang dijauhi oleh penulis lain. Ketika menulis tentang hal baik, dimaknai secara berlebih agar terkesan “cling” . Namun begitu menulis sebaliknya, bahasa yang digunakan terkesan diputar-putar dan dianalogikan sebagai penggambaran dari kegiatan buruk yang terjadi.
Dengan basic sastrawan yang disandang Arswendo, Ia mampu memilih padanan kata yang tepat sehingga novel yang sebenarnya kasar ini dapat dihayati dengan lembut dan bermakna tanpa memancing protes karena penggunaaan kata atau istilah yang kelewat berlebihan. Tapi kadang di beberapa bagian, unsur sastra sangat terasa. Sehingga dalam memahami makna cerita, kita dibuat memikirkan dan melayang – layang dalam rangkaian kata berima indah didalamnya. Agak sedikit menghabiskan waktu. Yah, tapi itu bisa dianggap sebagai selingan dan kadang itu sangat membantu dalam pembacaan novel ini.
Secara desain, cover nya yang soft warna putih susu dengan tipografi judul yang rapi terkesan membuat novel ini berada diantara novel santai atau novel serius. Ukurannya yang lebih kecil dari A5 memungkinkan novel ini ditenteng kemana – mana dan sangat nyaman untuk digenggam. (maksud ku nyaman di sini adalah, it’s really comfort with our hand). Secara total, novel ini cukup recommended. Bagi pengalaman aja, yang membuatku tertarik membaca novel ini adalah desain covernya dan malaikat sebagai tokoh utamanya. Maksudku, siapa lagi yang pernah membaca malaikat menjadi peran utama dalam sebuah buku? (mungkin anda semua sudah pernah tapi saya belum sempat menemukan buku sejenis seperti ini :P). (yo)


Data novel :


Novel genre dewasa dengan judul  : Kau Memanggilku Malaikat
Pengarang                                     : Arswendo Atmowiloto
Halaman                                        : 272 halaman
Cetakan                                        : Pertama - Jakarta, November 2008
Penerbit                                         : PT. Gramedia Pustaka Utama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Anonymous – Sahabat

     Aku lupa kapan pernah pergi ke salah satu SD di daerah Sudirman, Denpasar. Karena harus mengurus suatu urusan yang belum terurus, jadilah waktuku harus teralokasikan sedari pagi disana. Dalam postingan kali ini, sesungguhnya dan sebenarnya, tidak bercerita tentang kegiatan yang kulakukan di SD bersangkutan. Namun lebih kepada puisi tempel dinding yang sekejap mengambil perhatianku dan mematungkan diriku dengan setiap kalimat didalamnya. Sangat polos. Sangat jujur. Sangat keren. 

Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran (Resensi) - 2012

makanan ringan + bacaan berbobot       “ Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik…” Sebuah catatan pada tahun 1957 tercipta dari tangan seorang generasi Indonesia keturunan Cina. Namanya Soe Hok Gie. Seseorang yang hidup pada era orde lama yang selanjutnya menjadi salah satu tokoh penting dalam pergerakan perubahan yang terjadi di Indonesia saat itu.

Diperkosa angin di Batur yang dingin

     “Beneran nih ga apa? Serius nae yud,” suara seorang pemuda tanggung memecah suasana di balebengong sekitar kawasan pos jaga Batur. “Sante aja be, ‘mereka’ pasti datang. Tapi cuma ngeliatin aja koq,” jawabku di sebelahnya diikuti pandangan menunggu dari 1 pemudi dan 2 pemuda lainnya. “Oke, gini ceritanya, waktu itu aku dan adikku pernah ngeliat bayangan hitam gede banget waktu lewat di jalan (tiit),” pemuda yang bernama Abe itu pun memulai ceritanya. “Terus?,” tunggu pemuda lain yang bernama Kris sambil mulai memperhatikan dengan seksama si pemberi cerita. “Awalnya ku kira itu orang yang lagi diem di belakang pohon, eh, ga taunya…” mulai mencondongkan tubuhnya dan… PLAK! “Huwaaa! Apa tuuu?” baik Abe, Kris, pemudi yang bernama Novita, dan pemuda lain yang bernama Rendra lompat dari posisi mereka dan menubruk aku yang berada paling jauh dari suara berdebam tiba – tiba itu. “Tuh kan, iseng banget sih kalian cerita horor di jam 12 malam di kaki gunung Batur...