Manusia. Mahluk berakal budi. Memiliki
potensi besar dalam mengubah tatanan kehidupan. Eksistensi manusia secara
secara nyata dapat dibedakan dengan mahluk yang lain. Manusia juga memiliki
karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Dari karya yang
dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Berbicara
tentang manusia maka yang tergambar dalam pikiran adalah berbagai macam perspektif.
Ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional). Sedangkan
yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah karena manusia
mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan
simbol-simbol tersebut. Ada juga Homo Feber. Manusia sebagai hewan yang
melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Populer dikatakan sebagai Homo
Sapiens. Manusia arif yang memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain.
Yang menyenangkan adalah manusia disebut sebagai Homo Ludens (mahluk yang
senang bermain). Manusia dalam bermain memiliki ciri khasnya dalam suatu
kebudayaan yang bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan
menyenangkan.
Begitu
banyak gambaran tentang manusia. Sesungguhnya, apa peranan manusia di dalam
kehidupan ini? Mungkin pertanyaan tersebut banyak terlontar oleh para pemikir
dijamannya. Pemikiran mendalam inipun kemudian dikaji dalam sebuah ranah yang
disebut filsafat. Mengapa manusia berfilsafat? Pertanyaan dasar ini perlu
diterapkan tatkala menjelaskan faktor – faktor yang melandasi sekaligus
mendorong lahirnya filsafat manusia. Perlu dijabarkan bahwa sepanjang sejarah
kefilsafatan, terdapat tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu
: kekaguman atau keheranan, keraguan atau kesangsian, kesadaran akan
keterbatasan. Dan pada umumnya seorang filsut mulai berfilsafat karena adanya
rasa kagum atau adanya rasa heran dalam pikiran filsuf itu sendiri. Filsafat
layaknya seseorang yang sedang berdiri di tengah rerumputan luas dan memandang
bintang – bintang di atasnya. Atau seperti seseorang yang berada di puncak
gunung dan memandang lembah dan jurang yang ada di bawahnya. Dia menyimak
kehadiran dirinya di tengah eksistensi semesta yang ada di sekitarnya.
Plato berujar: “Mata kita memberi
pengamatan bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi
dorongan kepada kita untuk menyelidiki. Dan dari penyelidikan ini munculah
filsafat. Kekaguman atau keheranan pun terpetik dari pemahaman Plato tentang
filsafat. Memandang dengan heran sekaligus merasa kagum akan hal yang ditangkap
oleh panca indera ternyata tidak membuat filsuf lain layaknya Augustinus dan
Rene Descartes berpendapat sama. Mereka berfilsafat bukan dari kekaguman atau
keheranan akan tetapi dimulai dari keraguan atau kesangsian sebagai sumber
utama berfilsafat. Manusia heran, tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak
ditipu oleh panca inderanya yang sedang heran? Rasa heran dan meragukan ini
mendorong manusia untuk berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk
memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam,
menyeluruh dan kritis untuk menentukan posisi manusia di dalam kehidupan.
Semakin sangsinya manusia akan
eksistensi dirinya membuat manusia terus menggali jawaban akan pertanyaan, unek
– unek sekaligus memahami refleksi diri mereka sendiri. Manusia adalah mahluk yang
kompleks. Baik secara sistem maupun untuk menjalani fungsi kehidupan. Karena
kerumitannya inilah manusia mampu menjadi individu yang sangat berperan
mengubah tatanan kehidupan secara massal. Tidak bagi manusia itu sendiri namun
juga bagi kehidupan lainnya. Manusia memiliki permasalahan ketika mereka
menanyakan keberadaan dirinya. Dari jaman plato hingga sekarang, belum ada yang
benar – benar mampu melegakan dahaga dari pertanyaan – pertanyaan serupa. Lewat
penelusurannya, manusia justru semakin menyingkap tabir kehidupan dengan
penemuan – penemuan, membuat sejarah dan akhirnya menjadi individu yang hanya
berjalan untuk menjalankan sistem yang telah dibuat.
Seakan sibuk dengan kegiatan sehari –
hari, manusia terperangkap hanya untuk berkonsentrasi terhadap kehidupan mereka
sendiri tanpa menyadari kembali terhadap pertanyaan yang terlontar di awal.
Seakan lupa, manusia lambat laun kian menjadi egois dan menganggap diri menjadi
pusat kebenaran (egosentris). Manusia terhanyut dalam nuansa dunia seperti yang
terlihat. Manusia menjadi terfokus dan gila kerja (Homo Feber) untuk mempertahankan
hidupnya di dunia. Kelompok terpecah menjadi individu yang bergerak sendiri –
sendiri. Kelompok sosial hanya berlaku secara fisik namun berinteraksi kosong. Teknologi
dan pengaruh globalisasi membuat manusia menjadi Homo Mechanicus (mahluk yang
canggih) namun juga menggeser perlahan posisi manusia sebagai Homo Recent
(mahluk yang memiliki kepekaan rasa). Hakikatnya manusia hanya mementingkan
dirinya sendiri. Begitupun dalam berinteraksi, jika tidak ada hal yang baik
bagi manusia itu bisa dapatkan ketika melakukan interaksi sosial, untuk apa hal
itu dilakukan?
Manusia juga adalah Homo Ludens.
Bersifat menyenangkan. Di jaman sekarang, kesenangan hanya berorientasi pada keinginan
individu manusia itu sendiri. Sulit menemukan kesenangan yang merata bagi semua
insan. Pergeseran ini semakin memperkuat kedudukan manusia sebagai mahluk
egosentris. Manusia adalah mahluk yang berakal budi. Kita menyebutnya Homo
Sapiens. Untuk siapa penciptaan akal budi itu dilakukan? Untuk memenuhi hasrat
manusia itu sendiri. Persis seperti lingkaran setan, pemenuhannya selalu akan
terasa kurang mengingat hasrat manusia tidak ada batasnya. Segala hal kemudian
diciptakan untuk itu saja. Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak ada
habisnya. Sejarah baru kemudian terbit. Memperlihatkan karakter manusia yang
ego serta angkuh terhadap dirinya. Setiap waktu. Setiap detik waktu berlalu,
manusia menjadi semakin berbeda. Semakin jauh dari hakikat sebuah pertanyaan
yang pernah muncul ratusan tahun silam, Untuk apa manusia itu ada?
Apa peranan manusia di dalam kehidupan
ini? Pertanyaan ini akan kembali terlontar ketika manusia terduduk dan
termenung di tengah hingar bingar eksistensi sejarah yang telah mereka buat.
Apakah untuk menghabiskan waktu dan terperangkap dalam keadaan yang dibuat oleh
manusia itu sendiri atau untuk hal yang lain? Saya harap hal lain itu
berimplikasi baik bagi kehidupan. Baik bagi manusia maupun hal diluar manusia
itu sendiri.
text oleh : Agung Yudha dan foto oleh : Agung Parameswara
text oleh : Agung Yudha dan foto oleh : Agung Parameswara
Komentar