makanan ringan + bacaan berbobot |
“Saya
dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik…”
Sebuah catatan pada tahun 1957 tercipta dari tangan seorang generasi
Indonesia keturunan Cina. Namanya Soe Hok Gie. Seseorang yang hidup pada era
orde lama yang selanjutnya menjadi salah satu tokoh penting dalam pergerakan
perubahan yang terjadi di Indonesia saat itu.
Lewat catatan hariannya,
akan terlihat Gie yang begitu idealis, nasionalis, realis dan yang lebih
penting, Ia menjadi sosok yang selalu menjunjung nilai kebenaran. “Siang tadi ketika aku momong kera, aku
bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga…… dan kuberikan Rp. 2,50 dari uangku. Uangku
hanya Rp 2,50 waktu itu….. Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, “paduka” kita
mungkin lagi tertawa – tawa, makan – makan dengan istri – istrinya yang
cantik….. Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang
mengacau…. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia……
Cuma pada kebenaran kita harapkan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia
hanyalah palsu, palsu. Sebuah nilai kebenaran yang menjadi acuan kehidupan
seorang Gie sehingga selanjutnya ia akan dikenal sebagai sosok yang keras namun
real dalam bertindak dan mencoba
mengembalikan ‘kesadaran’ masyarakat yang sudah kadung melihat pemerintah sebagai suatu area ‘tabu’ untuk disentuh.
Dan Ia melakukannya.
Soe Hok Gie. Pemuda yang kritis
pada jalannya keadilan juga memiliki ‘pelarian’ selain perjuangannya di kampus kepada pemerintah. Kekagumannya
pada alam dan kegemarannya menaiki gunung menjadikan pribadinya semakin tangguh
namun seketika rapuh saat menikmati keindahan alam yang ia rekam melalui tulisannya.
Ini juga yang menjadi arus kegiatan bernama MAPALA yang telah Ia buat jauh
waktu sebelumnya. Bersama kawan – kawannya, melalui sebuah organisasi kecil
yang tercipta hanya untuk pergi ke alam dan menikmati kebesaranNya.
Dalam 12 tahun catatan hariannya,
ada bagian yang merefleksikan Gie sebagai seorang manusia normal yang mendamba
kehidupan manusia normal lainnya. Cinta. Sebuah Tanya dan kerinduan pada bagian
yang jarang Ia sentuh. Sebuah bagian yang begitu simpel namun (mungkin) terasa
sulit untuk dijalani. “Mereka orang –
orang ‘tikus’ ini, senang pada saya karena saya berani, jujur dan
berkepribadian. But not more than that. Pada saat mereka sadar bahwa saya ingin
menjadi in-group mereka, mereka menolak…… Soal ini telah lama saya sadari.
Tetapi pada waktu itu datang sebagai kenyataan, rasanya pedih sekali….” Sebelumnya,
Ia pun telah menyerahkan perasaannya dalam sebentuk sajak yang membuat hatinya
merindukan akan harapan dan cinta.
soe hok gie |
Sebuah Tanya
Akhirnya
Semua akan tiba
Pada
suatu hari yang biasa
Pada
suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah
kau masih selembut dahulu
Memintaku
minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil
membenarkan letak leher kemejaku
(kabut
tipis pun turun pelan – pelan di lembah kasih, lembah mandalawangi
Kau
dan aku tegak berdiri
Melihat
hutan – hutan yang menjadi suram
Meresapi
belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah
kau masih semesra dahulu
Ketika
kudekap kau
Kau
dekap lebih mesra, lebih dekat
(lampu
– lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota
kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau
dan aku berbicara
Tanpa
kata, tanpa suara
Ketika
malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)
Apakah
kau masih akan berkata
Kudengar
derap jantungmu
Kita
begitu berbeda dalam semua
Kecuali
dalam cinta
(hari
pun menjadi malam
Kulihat
semuanya menjadi muram
Wajah
– wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam
bahasa yang tidak kita mengerti
Seperti
kabut pagi itu)
Manisku,
aku akan jalan terus
Membawa
kenangan – kenangan dan harapan – harapan
Bersama
hidup yang begitu biru
-Selasa,
1 April 1969
12 tahun catatan harian nya
kini dirangkum dalam sebentuk buku berjudul “Soe Hok Gie : Catatan Seorang
Demonstran” terbitan LP3ES, Jakarta. Secara beruntung, aku akhirnya mendapatkan
buku yang langka ini lewat kebaikan hati seorang kawan @ayucempaka yang
mengirimkan buku ini dari Jogjakarta. Langka secara harfiah karena semenjak
buku ini kucari empat tahun belakangan di berbagai toko buku di Bali, stoknya
kosong. Tapi Tuhan memang sayang, akhirnya sekarang kumiliki buku ini secara official :)
Sosok Gie dalam pandanganku
adalah karakter yang cerdas, berani, terstruktur, idealis dan realis. Tidak
segan kata – katanya tajam yang akhirnya membuka tabir kebenaran yang sengaja
ditutup – tutupi oleh beberapa pihak saat itu. Sebagai ganjarannya, adanya
beberapa pihak yang kontra akan apa yang dilakukan Gie. Semua hal ini terangkum jelas dalam setiap
goresan pena catatan hariannya. Tapi sayang, nama – nama beberapa tokoh sengaja
diganti bahkan dihilangkan. Yang anehnya, beberapa nama justru tercetak dengan
jelas seperti beberapa anggota parlemen pemerintahan yang memiliki bad responses lewat pemikiran Gie. Entah
apa tujuan dari LP3ES melakukan itu. Jika memang LP3ES ingin menyebarkan
pemikiran dari Soe Hok Gie, kenapa juga tidak mencantumkan beberapa artikel
buatannya untuk kompas dan beberapa media cetak saat itu dalam buku ini?
Sepertinya masyarakat akan lebih mudah untuk mencerna sekaligus memahami apa
yang Gie ingin sampaikan.
Secara struktur, agak susah
pada awalnya untuk mengerti isi buku ini. Tentu, karena ini adalah kumpulan
catatan harian yang semestinya menjadi konsumsi pribadi penulis. Tapi berkat
kata pengantar yang ditulis oleh Harsja
W. Bachtiar (saat menulisnya, Ia adalah Dekan Fakultas Sastra UI, tempat
Gie belajar sebagai mahasiswa Sejarah) terbayanglah akan isi buku ini yang
selanjutnya menemani waktu senggangku sambil nge-es krim, makan, sesudah bangun,
sebelum tidur atau membacanya memang
pada waktu khusus yang sengaja
kusediakan untuk melahap isi buku ini.
official poster film GIE |
Karakter Gie telah pun
telah di audio visual-kan dengan judul yang sama. Lewat keinginan Mira Lesmana
dan eksekusi dari Riri Riza, tercipta Gie yang saat itu diperankan oleh
Nicholas Saputra. Sayangnya ada
perbedaan yang mencolok dari film Gie jika disandingkan dengan karakter Gie
langsung lewat catatan hariannya. Gie yang ditampilkan begitu dingin dan keras.
Seolah tak ada celah untuk memperlihatkan Gie yang idealis namun kadang rapuh
dan hangat dalam waktu yang berbeda seperti yang tertampilkan dalam catatan
hariannya. Mungkin Riri Riza memang memiliki tujuan penciptaan karakter Gie
yang seperti itu. That’s all back to the
director. But, overall, Film nya cukup bagus (pada saat pertama aku
menontonnya, aku sama sekali kosong tentang sosok Gie tapi pada saat menonton
ulang baru aku mengerti alurnya :p. Ini juga yang menjadi start awal perburuanku mencari buku ini) dan Buku ‘Soe Hok Gie :
Catatan Seorang Demonstran’ sangat layak untuk dikoleksi. Sebagai satu rekaman
perjalanan Indonesia yang berharga.
Judul : Soe Hok Gie :
Catatan Seorang Demonstran (Resensi)
Jumlah halaman : xxx + 385
halaman
Penerbit : LP3ES, Anggota
Ikapi
Cetakan : Kesebelas,
Oktober 2011
Harga : Rp. 50.000 (2011)
Komentar
Ane cari dimana mana gak ada :(
"Penjual Buku"
Baru kemarin belii bukunya dengan harga yg sudah melonjaaak naik.. #tepokjidat