2016. Masa ketika tulisan
ini dibuat, penulis sedang berada di dalam suasana yang modern. Mulai dari penyampaian
pesan yang sangat cepat, Batas dunia yang semakin tipis. Gadget canggih yang bertebaran namun tidak dibarengi dengan
kesiapan mental yang cukup. Penulis sadar bahwa tidak ada yang salah dengan
itu. Perubahan adalah hal yang selalu terjadi dan menjadi hakim atas semua
kemungkinan kehidupan manusia di dunia. Apa yang ada dalam kepala ketika teringat
masa dimana kehidupan begitu sederhana menjadi berbeda saat membuka mata dan
melihat keadaan sekitar di jaman ini.
Smartphone
yang didaulat sebagai piranti canggih tidak serta merta dimiliki pengguna yang
juga smart. Berbagai informasi dapat
ditilik dan dinilai secara individu. Pergeseran mental, isu SARA, modifikasi
sejarah merupakan sedikit hal dan pengaruh yang diterima oleh kita saat ini.
Lewat sebuah piranti dengan besarnya yang tidak lebih dari 6 inch, masyarakat kita sudah belajar
banyak. Masyarakat kita sudah lebih maju dalam memahami keadaan dunianya.
Dibandingkan dulu, masyarakat kita menjadi lebih pintar namun keblinger. Sulit membedakan berita
palsu, minim pemikiran terhadap isu tertentu dan terpengaruh pada sebatas judul
berita online, Bergesernya empati
atas nama kelompok hingga hilangnya kepercayaan pada sesuatu yang sebenarnya
baik.
Sebuah contoh saya ambil
ketika sebuah kasus mencuat yang melibatkan antara tenaga pendidik, murid dan
orang tuanya. Tidak terima atas perlakuan guru yang mencubit anaknya ketika ribut
di kelas, orang tua murid melaporkannya ke polisi. Atas nama HAM dan keadilan,
berita ini kemudian menjadi konsumsi publik. Sebuah perenungan kemudian saya
dapatkan ketika pikiran ini terlempar jauh dimasa pakaian wajib penulis masih
berwarna merah putih. Sang guru didaulat menjadi orang tua kedua bagi anak
didiknya. Kesalahan yang dilakukan tentu akan menerima ganjaran sepanjang hal
tersebut tidak melewati batas. Jaman itu masyarakat masih sedikit yang mengenal
mahluk yang bernama HAM namun entah kenapa karakter siswa lebih disiplin jika
dibandingkan dengan hari ini. Hari ini para siswa bahkan sudah terlihat begitu
berani dan percaya diri akan hidupnya. Ramai berseliweran di linimasa, foto kemesraan siswa SD, gambar siswa
yang memberikan pose tidak baik pada gurunya namun gurunya terdiam ataupun umpatan
– umpatan yang mengalir deras menanggapi sebuah isu yang terlontar dari pemilik
media pengejar klik atas nama ekonomi. Apa yang dilakukan oleh gurunya
mengetahui siswanya seperti itu? Mungkin akan terdiam, absen untuk mendidik
mental karena takut dipolisikan oleh orang tua murid atas nama HAM. Para murid
akan kembali pada aktivitas di depan layar smartphone
serta berselancar tanpa batas dalam dunia maya. Mengonsumsi tayangan televisi
yang mengajarkan kebut-kebutan motor masa sekolah atau fase cinta – cintaan lewat
sinema elektronik (sinetron) yang seharusnya cocok dikonsumsi oleh remaja umur
ke atas dengan filter yang cukup dalam diri mereka. Masyarakat kita kemudian
dikuasai oleh Agama HAM. Jika ada yang tidak sesuai (walapun sebenarnya bisa
ditoleransi), keluarlah Tuhan HAM yang akan membela.
Kesempatan menjelajahi
dunia maya menjadikan karakter masyarakat menjadi terlalu cepat dewasa dalam
berfikir namun minim dalam mental. Lihatlah sebuah postingan dalam sosial media
khusus foto dan video orang terkenal, temukanlah minimal satu yang apatis atau
mungkin lebih dari satu? Jika beruntung, kita akan menemukan berbagai umpatan ‘sadis’
dalam berita yang memiliki headline
panas terhadap isu yang ada. Namun ketika diusut oleh aparat atas laporan yang
tidak menerima hal tersebut, para komentator beramai – ramai meminta maaf
disetiap media linimasa mereka dan bahkan menghapus komentarnya secara membabi
buta. Bak seorang manusia yang ditinju di wajah karena awalnya berkoar – koar tanpa
makna di masyarakat. Meringis dan menangis bagai seorang pecundang.
Fenomena lain adalah
cepatnya masyarakat kita disetir terhadap isu yang ada. Cukup mengikuti sebuah
laman populer, anda berkomentar kemudian jadilah anda yang paling ahli dengan
kritik destruktif yang sama sekali tidak memberi kontribusi positif. Berkoar –
koar bicara terhadap isu yang sebenarnya sensitif dan memerlukan pemikiran
dalam sebelum menyampaikan pendapat. Isu tentang agama (salah satunya) kemudian
dibalut sedemikian rupa dan dipersembahkan pada khalayak ramai dalam sebuah
judul bombastis. Lihat pada kolom komentar, penulis kadang lebih asyik menyaksikan
perdebatan panas tanpa ujung dibandingkan isi beritanya sendiri yang melempem. Sedangkan di belakang meja
redaksi, pemilik kantor berita tertawa terpingkal – pingkal melihat grafik klik
berita yang tersebar yang naik secara drastis untuk memenuhi pundi - pundi
perusahaan.
Hal yang membuat penulis
terpingkal – pingkal justru datang dari sebuah aksi seorang terpelajar nan
dewasa yang mempermasalahkan stiker pada aplikasi chatting. Alih alih stiker yang ada (belakangan diketahui bahwa
stiker tersebut memuat hal yang cukup dewasa) membuat risih dirinya karena
anaknya yang masih kecil bisa mengonsumsi stiker tersebut, Sang terpelajar
membuat surat terbuka akan keberatan dirinya dan meminta agar stiker dan yang
memiliki nilai sejenis ditarik. Namun penting untuk diketahui, ternyata
aplikasi chatting bersangkutan
menggunakan persayaratan email / surel untuk pengaktifannya. Dalam peraturan
global, pembuatan surel (surat elektronik) minimal dilakukan oleh orang yang
berumur 18 tahun. Disini siapa yang patut disalahkan? Perusahaan chatting atau sang terpelajar dewasa
yang memperbolehkan anaknya yang jelas – jelas belum lulus SD menggunakan
aplikasi chatting tersebut? Walaupun terpelajar, mungkin sebaiknya tradisi membaca
ditingkatkan kembali.
Dalam 10 tahun, ingatan
yang sangat cepat memvisualisakan kembali akan apa saja yang pernah dialami
penulis di masa lalu. Guru sebagai pendidik. Orang tua ikut berkontribusi
bahkan disaat sedikit waktu luang baginya. Para siswa menjadi hormat dan
mengetahui apa yang salah dan benar. Tayangan televisi yang masih bisa difilter
untuk penonton (tayangan untuk anak, tayangan untuk remaja dan tayangan untuk
dewasa yang dibedakan dari waktu penayangannya). Obrolan keluarga / teman di
mana saja tanpa ribet menyapa orang jauh lewat piranti canggih yang tidak bisa
lepas dari tangan. Waktu untuk bersosialisasi yang kini terasa mahal dan sulit
untuk direalisasikan. Tidak ada yang salah dengan hari ini. Tapi kita bisa
memulai diri agar kedepannya kita tidak salah menanggapi perubahan ini.
Komentar
Anak anak kita...
Anak anak kita...
@kartika Rosiana : Itu perannya kita sebagai keluarga. Semoga semua baik baik saja dengan dukungan kita kedepannya. Yeah!